Ketidakadilan yang dirasakan oleh perempuan menjadi lebih nyata ketika mereka adalah seorang difabel. Menjadi perempuan saja sudah mengalami banyak mengalami penindasan, apalagi ketika menjadi perempuan sekaligus difabel.
Maka tak heran ketika ditemukan banyak kasus mengenai tindak-tindak kejahatan yang dialami oleh kaum difabel perempuan. Diantaranya adalah kesempatan kerja yang terbatas bahkan tidak ada.
Kemudian yang paling memprihatinkan adalah banyaknya kasus kekerasan seksual yang dialami kaum difabel. Banyak sekali ditemukan kasus-kasus kekerasan seksual pada perempuan difabel karena mereka dianggap tidak berdaya.
Masyarakat menganggap kaum perempuan dan difabel merupakan kaum marginal yang tidak berdaya. Sehingga seringkali mereka disepelekan dan tidak dianggap ada.
Menurut (Muthmainah et al., 2018) penyandang difabel sering dianggap tidak berguna di masyarakat, bahkan penyandang difabel beranggapan bahwa dirinya hanya merepotkan orang-orang di sekitarnya.
Hal ini menunjukkan bahwa kaum difabel pun seringkali menganggap dirinya tidak berarti. Meskipun tidak semua yang demikian, namun dengan beranggapan seperti itu akan membuat kaum difabel membatasi ruang geraknya dalam lingkungan sosial.
Para penyandang difabel mengalami keterbatasan atau gangguan terhadap fungsi sosialnya sehingga mempengaruhi keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan, dan harga diri dalam berhubungan dengan orang lain ataupun dengan lingkungan.
Kondisi tersebut menyebabkan terbatasnya kesempatan bersosialisasi, bersekolah, bekerja dan dapat menimbulkan perlakuan diskriminatif dari mereka yang normal (Muthmainah et al., 2018). Kemudian keterbatasan yang mereka alami tidak didukung dengan sarana dan kesempatan yang sama dengan mereka yang non difabel, sehingga memperkuat persepsi jika mereka tidak berdaya dan menurunkan rasa percaya dirinya.
Ketidakpercayaan diri serta lingkungan sosial yang tidak mendukung para penyandang difabel menyebabkan akses mereka ke pendidikan juga relatif rendah. Para kaum difabel seringkali memperoleh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Sekolah tersebut sejatinya telah menciptakan “pemisahan” dan membentuk mental eksklusif bagi anak disabilitas dan juga bagi masyarakat. Artinya, sejak dini dalam diri mereka tertanam bahwa mereka “berbeda” dan dibedakan (Widjaja et al., 2020).
Maka dari itu akan sulit bagi mereka dan masyarakat untuk saling menerima ketika saat ini inklusivitas sedang digaungkan. Khususnya bagi masyarakat, seringkali masih memandang para difabel sebagai orang yang “berbeda”. Sehingga mempengaruhi interaksi dan aksesibilitas para difabel.
Dari rendah serta berbedanya sistem pendidikan yang didapat para difabel membuat akses mereka ke pekerjaan menjadi lebih sulit daripada masyarakat non difabel. Apalagi bagi mereka perempuan difabel yang memiliki stigma ganda. Perempuan seringkali dilekatkan dengan pekerjaan domestik ditambah jika mereka difabel maka akan dianggap semakin tidak berdaya.
Sehingga perempuan difabel memiliki akses yang sangat-sangat terbatas ke dunia kerja. Tertuang dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 bahwa kuota untuk pekerja difabel hanya 1%, yang berarti tiap 100 karyawan non difabel harus ada 1 karyawan difabel (Kurniawan, 2015).
Meskipun pemerintah sudah memfasilitasi dengan membuat kebijakan tersebut, namun dengan kuota yang sedemikian tentunya tidak dapat merangkul semua difabel terutama difabel perempuan. Pun masih sangat sedikit perusahaan baik swasta maupun milik negara yang menerapkan kebijakan tersebut.
Menurut (Kurniawan, 2015) Sampai hari ini kuota 1% bagi tenaga kerja difabel di perusahaan- perusahaan masih tidak berjalan dengan semestinya. Direktur Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Wisnu Pramono mengatakan para difabel harus bersaing dengan 7,4 juta pengangguran untuk bisa mendapatkan pekerjaan.
Kemudian karena stigma ganda yang dilekatkan pada perempuan difabel, sudah seharusnya ketika mereka mendapatkan pekerjaan untuk mendapatkan perlindungan baik dari perusahaan maupun pemerintah.
Hal tersebut karena stigma ganda yang dilekatkan pada perempuan difabel membuat mereka sangat rentan mengalami kekerasan di tempat kerja. Sudah tak terhitung berapa banyaknya tindak kekerasan fisik, psikis maupun seksual yang dialami perempuan difabel.
Oleh karena itu sangat penting peran dari pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak terkait dalam memberikan aksesibilitas yang sama kepada para penyandang difabel, khususnya perempuan. Hidup sebagai perempuan saja bagi sebagian orang bukanlah hal yang mudah apalagi jika mereka difabel. Maka semua elemen masyarakat sangat wajib untuk memberikan ruang kepada mereka agar dapat hidup dengan layak dan percaya diri.
Referensi:
Kurniawan, H. (2015). Potret Kasus Tenaga Kerja Difabel di Indonesia (Menyusun Kebijakan Ketenagakerjaan yang Non-Diskriminasi Bagi Difabel). Jurnal Difabel, 2(2), 193–211.
Muthmainah, Situmorang, N. Z., & Tentama, F. (2018). Gambaran subjective well-being pada perempuan difabel. The 8th University Research Colloquium 2018 Universitas Muhammadiyah Purwokerto, 143–147.
Widjaja, A. H., Wijayanti, W., & Yulistyaputri, R. (2020). Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak bagi Kemanusiaan. Jurnal Konstitusi, 17(1), 197. https://doi.org/10.31078/jk1719
Penulis : Putri Indah Wati
Tidak ada komentar