Senin, 17 Januari 2000 menjadi hari paling berharga bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Karena semenjak saat itu, lampion-lampion kembali menyala terang setelah tiga dasawarsa dipadamkan.
Jatim Today – Presiden Abdurahman Wahid alias Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 buatan Presiden Soeharto yang mengharuskan perayaan-perayaan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina digelar tertutup.
Semenjak larangan itu dicabut, etnis Tionghoa di Indonesia kini bebas terbuka merayakan Imlek, menggelar atraksi barongsai hingga menyalakan lampion-lampion sebagai bagian dari budaya mereka.
Semua berkat jasa Gus Dur, sehingga Presiden keempat itu dijuluki sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.
Membicarakan Imlek di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sosok Gus Dur.
Mulai tahun 1967 hingga tahun 1999, bangsa ini tidak bisa menikmati pertunjukan Lion dan Barongsai seperti sekarang. Tidak bisa menjumpai lampion yang digantung ramai di mal-mal, rumah makan, tempat umum hingga jalan protokol.
Selain itu, bangsa Indonesia waktu itu juga jarang mendengar bahasa mandarin, nama-nama berbau Cina juga dilarang.
Di masa itu tidak mungkin kita mendengar nama seperti Soe Hok Gie, Ong Tjong Bing atau Lie Eng Hok. Sebab, etnis Tionghoa harus mengubah nama mereka menjadi nama pribumi, misalnya Wijaya, Hartono maupun Susanti.
Tidak ada sekolah-sekolah Tionghoa, tidak ada surat kabar maupun berita berbahasa mandarin dan lain sebagainya. Setiap warga Tionghoa bahkan dipaksa memilih salah satu dari lima agama resmi yang diakui Pemerintah Indonesia antara Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Tidak ada agama Konghucu.
Situasi kelam itu buah dari aturan diskriminatif yang dibuat Orde Baru, melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.
Dimana salah satu poin aturan itu menyebut, perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum. Melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.
Menurut Gus Dur, Inpres tersebut sangat bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia. Sehingga Presiden berjulukan Bapak Pluralisme itu mencabutnya.
Pada Februari tahun 2000 saat perayaan Imlek pertama kali, lampion-lampion kembali menyala setelah tiga dasawarsa dipadamkan. Gegap gempita perayaan Imlek mulai berkumandang di segala penjuru bumi pertiwi.
Bagi Gus Dur, kategorisasi pribumi dan non pribumi, asli dan keturunan tidak relevan di Indonesia. Menurut riset, orang-orang di Asia Tenggara, Jepang, Korea, Tiongkok, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan mempunyai penduduk asli Bangsa Mongol (Ras Mongoloid).
Dalam sebuah catatan, eksistensi etnis Tionghoa pun sudah sangat lama di Indonesia. Banyak tokoh etnis Tionghoa yang menjadi bagian dalam sejarah perjalanan bangsa ini, sebut saja Laksamana Cheng Ho dan Putri Champa.
Dari Putri Champa dan Brawijaya V melahirkan dua anak bernama Tan Eng Hian dan Tan A Lok. Tan Eng Hian kemudian mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa bernama Kesultanan Demak. Ia mengganti nama menjadi Raden Patah.
Sementara Tan A Lok menikahi seorang guru Leizhou Guangdong yang sedang ikut Laksamana Cheng Ho bernama Tan Kim Han.
Tan Kim Han turut membantu iparnya mendirikan Kesultanan Demak. Ia dikenal sebagai Syaikh Abdul Qadir as-Shini yang makamnya bisa dijumpai di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Ketika masih menjabat sebagai Presiden, Gus Dur sempat menelusuri jejak leluhurnya di Quanzou, Hokkian, Tiongkok.
Kala itu, 3 Desember 1999 Gus Dur melakukan perjalanan kenegaraan ke negeri Tiongkok. Dengan melakukakan lawatan ke Beijing University. Di kampus ini, Gus Dur mengungkapkan bahwa leluhurnya berasal dari Hokkian.
Bukti-bukti tersebut menguatkan argumentasi Gus Dur bahwa tidak boleh ada diskriminasi atas dasar apapun. Toh kita semua pada dasarnya adalah pendatang. Oleh karenanya Gus Dur berupaya membereskan persoalan diskriminasi yang ada di Indonesia. Salah satunya dengan memberikan ruang kebebasan bagi siapa saja untuk mengekspresikan agama dan adat istiadatnya di tanah air.
Gus Dur bahkan meresmikan Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2001 Gus Dur juga menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Artinya bagi yang merayakan silahkan untuk berlibur. Langkah ini kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional.
Pemenuhan hak-hak komunitas Tionghoa tersebut membawa suka cita yang besar. Pada 10 Mei 2004, bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie, masyarakat Tiong Hoa di Semarang menyematkan julukan Bapak Tionghoa kepada Gus Dur.
Gus Dur pernah mengutarakan sebuah kalimat, yakni rasa beragama yang sebenarnya adalah memberikan hak dan memperhatikan hak kepada orang lain.
*Dikutip dari utas akun Twitter @GUSDURians
Tidak ada komentar