TRENGGALEK – Keasrian hutan di Kabupaten Trenggalek terjaga dengan baik. Seperti di kaki pegunungan Semungklung Desa Sumberbening, Kecamatan Dongko.
Hamparan Hutan heterogen yang didominasi jutaan pohon pinus tumbuh subur berdampingan dengan kebun warga.
Beragam jenis tumbuhan bisa ditemukan di desa seluas 1.211 hektar tersebut, terutama kopi. Dan ternyata, sebagian dari kopi-kopi itu peninggalan zaman Belanda.
Terdapat dua varietas pohon kopi peninggalan Belanda di Hutan Semungklung, yaitu Kopi Robusta (Coffea Caneofera) dan Kopi Arabika (Coffea Arabica). Namun Robusta-lah terlihat lebih subur tumbuh di tanah ‘Gaplek‘ ini.
Tanaman kopi dibawa ke Indonesia oleh Bangsa Belanda pada abad ke-17 atau sekitar tahun 1696. Kala itu, Gubernur Jenderal Adrian Van Ommen menerima biji kopi dari mertuanya yang bertugas di Malabar, India, kemudian ditanam di Batavia (Jakarta) dan Cirebon.
Menurut versi lain, kopi justru dibawa oleh masyarakat Indonesia sendiri setelah perjalanan dari tanah suci Mekkah, Arab Saudi. Hanya memang belum menjadi primadona seperti ketika Zaman Belanda menduduki negeri ini.
Komoditas penting itu selanjutnya menjadi tanaman wajib era kolonial. Sehingga semua daerah pegunungan, termasuk Semungklung, disulap menjadi perkebunan kopi.
Selepas kembalinya Indonesia ke pangkuan ibu pertiwi, kebun-kebun kopi mulai lenyap. Hanya sebagian masih bisa dipetik keuntungannya hingga sekarang seperti di Desa Sumberbening.
Berdasar cerita, Mbah Kriyo sosok berjasa menjaga kelestarian kebun kopi tinggalan Belanda di kawasan itu. Makam Mbah Kriyo beserta istri bisa ditemukan di tengah Hutan Semungklung dekat dusun kecil bernama Kendeng.
Konon Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin juga pernah berizarah ke makam Mbah Kriyo.
Untuk mencapai ke lokasi makam, pengunjung harus berjalan kaki beberapa kilometer dari pemukiman masuk ke area hutan milik Perhutani. Atau bisa juga menggunakan motor trail sambil uji ketangkasan karena memang medan Semungklung sangat cocok bagi penghobi olahraga ekstrem ini.